Duka Putri-putri Nabi kala Meninggalkan Tanah Suci

Duka Putri-putri Nabi kala Meninggalkan Tanah Suci 

“Kasihku, sesungguhnya ayahmulah yang memintaku untuk mengembalikanmu kepadanya, karena Islam telah memisahkan aku denganmu....”

Tahun baru Hijriyyah, 1431 H, telah tiba. Umat Islam terkenang sejarah saat Rasulullah SAW berhijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah.

Tergambar dengan jelas titik perjuangan dan pengorbanan Rasulullah berserta sahabat-sahabatnya untuk mempertahankan risalahnya. Terbayang bagaimanan penderitaan yang harus ditanggung ketika di siang hari yang sangat panas, atau di malam yang sangat gelap, mereka berjalan kaki, naik turun gunung yang berbatu-batu, melewati padang sahara yang gersang, dengan perbekalan seadanya.

Hijrah adalah langkah strategis untuk membangun basis kekuatan baru. Tidak hanya kekuatan fisik, melainkan juga psikologis.

Begitu pula yang dialami putra-putri Rauslullah SAW: Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum, dan Fathimah.

Hijrahnya Ruqayyah
Dalam catatan sejarah umat Islam, kaum muslimin pada masa Rasulullah SAW melakukan dua kali hijrah. Pertama terjadi pada akhir-akhir tahun keempat kenabian Rasulullah SAW. Kedua pada tahun ke-13 masa kenabian Rasulullah SAW.

Hijrah yang pertama dilakukan ketika kaum muslimin menghadapi penindasan yang sangat luar biasa. Ketika itulah Allah menurunkan surah Az-Zumar, yang di dalamnya terkandung isyarat untuk melakukan hijrah. Sebagian ayatnya menyatakan bahwa bumi Allah ini luas bagi kaum mukminin yang dipersempit.

Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar: 10).

Rasulullah SAW mengetahui bahwa Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka beliau memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Habasyah.

Pada bulan Rajab, tahun kelima dari kenabian, hijrahlah kelompok pertama para sahabat menuju Habasyah. Ketika itu kelompok ini terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Ketua mereka adalah Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istrinya, Sayyidah Ruqayyah, putri Rasulullah SAW.

Nabi SAW mengatakan perihal mereka berdua, “Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”

Ruqayyah pergi hijrah meskipun ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan termasuk orang yang pertama hijrah untuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum mukminin semuanya.

Yang paling bersedih ketika itu adalah putri bungsu Rasulullah SAW, Fathimah. Ia melepas kakaknya tersayang dengan cucuran air mata. Namun pada kedua bibirnya tersungging senyuman, karena saudara itu akan mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah SWT.

Hijrah pertama kali menuju Habasyah itu berlangsung dengan selamat.
Fathimah dan ayahnya merasa rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah mengabulkan keinginan mereka.

Kemudian datang seorang perempuan dari kalangan Quraisy yang mengatakan, “Wahai Muhammad, sungguh aku melihat menantumu bersama dengan istrinya di atas keledai yang ditungganginya.”

Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah orang pertama yang hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.”
Ruqayyah tidak kurang kerinduannya dibandingkan ayahnya, ibunya, dan saudara-saudara perempuannya.

Kejadian-kejadian berat yang dialaminya, terutama ketika ia keguguran pada kandungannya yang pertama, sangat mempengaruhi kesehatannya. Sehingga orang khawatir ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.

Tetapi ia mendapatkan perhatian suaminya dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang hijrah, dan semua itu membantunya untuk mengatasi krisis yang berat, sehingga ia kembali pulih. Terlebih dengan datangnya berita-berita dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboikotan yang sangat keras yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.

Berita-berita tentang kejadian ini sampai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah mereka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.

Namun ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah.

Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musyrik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughirah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib.

Ruqayyah dan suaminya juga kembali. Ketika sampai di perkampungan Makkah, ia segera menuju ke rumah ayahnya. Kemudian kedua saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera menemuinya. Mereka memeluknya dan mengalirlah air mata di pelupuk mata mereka.

Setelah itu tampak hakikat yang sebenarnya bahwa kaum Quraisy tetap berada dalam kekufuran dan penentangan. Maka mereka pun pun kembali ke Habasyah.

Ruqayyah kembali bersama suaminya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya. Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir, daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.

Kemudian orang-orang Quraisy berpikir untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi.

Kaum Quraisy memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Mereka ingin merusak hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah itu. Pilihan mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi`ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi.

Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka yang berada di negeri Habasyah. Di antara mereka terdapat putranya, Ja`far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan Umaimah, dan Ruqayyah, cucu dari saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan tipu daya Amr dan sahabatnya. Maka ia menggubah sebuah syair yang ditujukan kepada Najasyi, mengharapkan kemurahannya agar berkenan membela umat Islam yang telah memilih untuk berlindung kepadanya.

Seruan ini didengar oleh dua orang Quraisy. Lalu salah seorang di antara mereka mengatakan seraya mengejek, “Suara orang tua ini tak akan mengalahkan siasat Amr dan sahabatnya? Apa yang akan didapat oleh kalimat-kalimat ini dibandingkan dengan hadiah-hadiah yang dibawa oleh utusan kaum Quraisy kepada An-Najasyi!”

Fathimah Az-Zahra RA khawatir sangat akan kedaan saudaranya, Ruqayyah, suami saudaranya itu, dan kaum muslimin lainnya yang berada dalam perlindungan An-Najasyi. Namun Ummu Kultsum dapat menenangkannya, “Sesungguhnya Allah akan menolong mereka yang hijrah itu dari `Amr dan sahabatnya. Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Tidakkah kemarin engkau melihat, wahai Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari mereka yang kufur dan menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan petunjuk dari-Nya yang disadari oleh hati-hati yang beriman? Sesungguhnya mereka yang kafir itu, seandainya tidak mau beriman, mereka akan hina. Bukankah keadaan mereka ini merupakan petunjuk menyerahnya mereka dan kehinaan mereka? Sesungguhnya Allah Ta`ala bersama mereka yang hijrah yang keluar di jalan-Nya. Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan mereka, dan sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong agama-Nya. Dan mereka itu memang menginginkan pertolongan Allah dan ingin menyampaikan agamanya kepada semua yang berada di muka bumi.”

Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi ke Habasyah. Mereka menyampaikan hadiah kepada An-Najasyi. Mereka meminta An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang meninggalkan agama mereka.

Lalu terjadilah persaingan antara yang hak dan yang bathil, antara keimanan dan kekufuran, antara kebaikan dan keburukan. Kemudian menanglah kebaikan, iman, atas kebathilan, kekufuran, dan keburukan.

`Amr dan Abdullah kembali kepada kaum Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan.


Hijrahnya Az-Zahra dan Ummu Kultsum
Hijrah yang kedua, tujuannya adalah Madinah. Orang-orang Madinah sangat mencintai Rasulullah, terutama setelah beliau berhasil mendamaikan dua suku, Aus dan Kharzaj, dan berhasil mengikat mereka dalam ukhuwah Islamiyah. Kemudian, penduduk Madinah ini menawarkan perlindungan kepada


Nabi Muhammad dan kaum muslimin Makkah dari gangguan kaum kafir Quraisy.
Maka, mulailah kaum muslimin hijrah ke Madinah dengan tergesa-gesa sampai Nabi SAW mendapat perintah dari Allah SWT untuk berhijrah.

Dalam perjalanannya menuju Madinah, beliau ditemani sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Nabi SAW meninggalkan istrinya, Saudah binti Zam`ah, dan kedua anaknya, Ummu Kultsum dan Fathimah.
Adapun Zainab masih berada di rumah suaminya, yang kafir, putra Abu Jahal, Abul-Ash bin Rabi`, di Makkah (Saat itu belum turun hukum Islam yang melarang muslimah menikah dengan non-muslim).
Seluruh Makkah mendengar berita tentang muhajir, orang yang berhijrah. Lalu sampailah berita dari Yatsrib (Madinah) tentang sampainya Nabi SAW dengan selamat di sana dan telah diterima oleh penduduknya dengan penerimaan yang luar biasa, penyambutan yang menunjukkan perasaan cinta yang besar dan kerinduan untuk berjumpa dengan nabi yang mulia dan rasul yang agung itu.
Setelah Nabi, hijrahlah Ali, putra paman beliau, Abu Thalib.
Hari-hari terasa berjalan dengan lambat disertai dengan perasaan gelisah dan rindu. Malam-malam pun berlalu dengan berat karena perasaan khawatir. Sampai datanglah berita yang menggembirakan bahwa Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi` telah tiba bersama dua unta dan uang lima ratus dirham agar mereka dapat mendatangkan Saudah binti Zam`ah serta Ummu Kultsum dan Fathimah dari rumah Nabi SAW, juga keluarga Abu Bakar, yakni Aisyah dan ibunya.
Kedua putri Nabi ini menghabiskan dua hari terakhirnya di Makkah bersama saudara mereka, Zainab, istri Abul-`Ash. Lalu mereka menuju Hujun, mereka menyampaikan ucapan berpisah kepada ibunda mereka yang dimakamkan di sana.
Ummu Kultsum menggandeng tangan saudaranya, Fathimah, lalu pergi bersamanya ke tempat Zaid, menunggu mereka bersiap-siap untuk berangkat.
Perjalanan mereka tidak berlangsung aman. Baru saja keduanya meninggalkan Makkah dan mereka berangkat dengan kafilah menuju Madinah, keduanya diburu oleh orang-orang musyrikin Quraisy yang kurang ajar. Al-Huwairits bin Naqidz bin Wahb bin `Abd bin Qushay, salah seorang yang selalu menyakiti Rasulullah SAW di Makkah, melakukan kejahatan dengan mengejutkan unta mereka berdua hingga keduanya terpelanting ke tanah.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan susah payah akibat terjatuh di padang pasir hingga mereka sampai ke Madinah. Betis mereka hampir tidak dapat diangkat. Tidak ada orang yang tidak mengutuk Al-Huwairits.
Rasulullah SAW tidak dapat melupakan perbuatan yang jahat itu. Pada tahun kedelapan Hijriyyah, saat Fathul Makkah (Pembebasan Makkah), beliau menyebut nama Al-Huwairits dan beberapa orang lagi yang sangat banyak menyiksa kaum muslimin. Beliau meminta para panglimanya untuk membunuh orang-orang itu meskipun mendapati mereka bersandar di tirai Ka`bah. Ali bin Thalib adalah orang yang paling patut di antara para panglima itu untuk membunuh Al-Huwairits dan ia pun akhirnya dapat melakukannya.
Sebelum Nabi menyuruh agar Fathimah didatangkan, beliau telah mulai membangun masjidnya dan rumahnya di tempat untanya yang bernama Al-Qushwa mendekam ketika beliau tiba di negeri hijrah. Selama pembangunan berlangsung, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Anshari, rumah yang kemudian menjadi milik bekas budaknya, Aflah. Setelah rusak dan banyak dindingnya yang retak, rumah itu dibeli oleh Al-Mughirah bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam dengan harga seribu dinar. Ia perbaiki rumah itu lalu ia sedekahkan kepada seorang fakir di Madinah.
Rasulullah SAW turut bekerja dalam pembangunan masjidnya dan rumahnya yang baru. Itu membangkitkan semangat kaum Muhajirin dan Anshar, sehingga mereka berlomba-lomba untuk bekerja. Salah seorang di antara mereka berdendang:

Jika kita duduk sedangkan Nabi bekerja
itu perbuatan menyesatkan dari kita

Sambil terus membangun, yang lain menyahut:

Tiada kehidupan selain akhirat
Ya Allah, rahmatilah Anshar dan Muhajirat

Terlihat Rasulullah SAW menyeka keringat Ammar bin Yasir, yang berjalan dengan berat karena mengangkat batu bata. Lalu terdengar Ali bin Abi Thalib bersenandung:

Tidak sama antara orang yang membangun masjid
bekerja gigih dengan berdiri dan duduk
dengan orang yang mengelak dari hamburan debu

Ammar kemudian mendendangkannya berulang-ulang sampai pembangunan selesai.


Rumah Rasulullah SAW yang dibangun itu terdiri dari beberapa kamar sederhana yang menghadap ke halaman masjid. Sebagiannya terbuat dari batu-batuan yang ditempelkan dan sebagiannya lagi dari pelepah kurma yang direkatkan dengan tanah. Sedangkan bagian atapnya semua tersusun dari pelepah kurma.

Mengenai ketinggiannya, Al-Hasan bin Ali, cucu Nabi SAW dan putra Fathimah, pernah mengatakan, “Ketika aku masih remaja, aku pernah memasuki rumah Nabi dan dapat memegang atapnya.” Di dalam Shahih al-Bukhari dikatakan, pintu rumah beliau dapat diketuk dengan jari, artinya tidak ada besi gelang khusus untuk mengetuk pintu.

Adapun perkakasnya untuk ukuran Madinah saat itu amat sederhana, kasar, dan di bawah standar. Tempat tidur beliau terbuat dari kayu diperlunak sedikit dengan serabut (ijuk) pohon kurma.

Ke rumah yang baru dan sederhana inilah Fathimah datang dari Makkah untuk melihat ayahnya di tempat yang sangat mulia dan mendapati kaum Muhajirin telah hidup dengan tenang. Dan Rasulullah telah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar untuk menghilangkan perasaan keterasingan di kalangan Muhajirin dan untuk mengakrabkan satu sama lain.

Alangkah indahnya gambaran yang Fathimah lihat sekarang. Persaudaraan yang tampak jelas, perasaan cinta yang nyata antara kaum Muhajirin dan Anshar. Alangkah indahnya apa yang ia saksikan. Tidak ada seorang Muhajirin pun yang datang ke Madinah melainkan puluhan orang Anshar segera mendatanginya. Semua ingin menjamunya dan semua ingin menjadi saudaranya.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang itu untuk menyenangkan semuanya? Maka ia harus mengundi di antara semuanya. Dan barang siapa mendapatkan undian itu, tampak gembira dan mendapat ucapan selamat karena mendapatkan seorang saudara yang dicintai.

Khayalan Fathimah kembali ke masa yang baru saja berlalu di Makkah. Di sana yang ditemui adalah siksaan dan permusuhan, sedangkan di Madinah yang didapatinya adalah perasaan cinta, kebaikan, dan sikap mendahulukan orang lain. Di Makkah, jika ada yang masuk Islam, penduduknya segera menghina, mencela, dan menyiksa. Sedangkan di Madinah, jika ada seorang muslim yang berhijrah, semuanya segera menemuinya untuk menjamu dan memuliakannya.

Orang-orang Muhajirin itu mulai hidup dengan tenteram. Mereka dicukupi oleh keluarga-keluarga kaum Anshar. Kaum Anshar memberikan setengah rumah mereka kepada kaum Muhajirin, juga setengah harta mereka.

Ketika datang bulan Syawwal tahun kedua Hijriyyah, Nabi SAW menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar. Pernikahan ini tidak mengejutkan Fathimah dan tidak seorang pun kaum muslimin yang terkejut, karena beliau telah melamarnya sebelum hijrah dari Makkah.

Hijrahnya Zainab
Situasi yang amat sulit dihadapi oleh Zainab. Suaminya, Abul-Ash bin Rabi`, telah berangkat bersama kaum kafir Quraisy ke Badar untuk memerangi Nabi SAW dan kaum muslimin. Zainab ingin ayahnya menang, tetapi ia tak ingin beliau berhadapan dengan suaminya.

Kaum muslimin mendapatkan kemenangan dan di antara mereka yang ditawan adalah suami Zainab.
Kemenangan kaum muslimin telah diketahui oleh Zainab. Ia pun tahu suaminya ditawan. Suaminya ini seorang yang berharta dan keluarganya ingin membayar tebusan yang mahal. Tetapi Zainab hendak menebusnya sendiri dengan sesuatu yang lebih mahal daripada harta.

Para tawanan Badar kemudian digiring ke Madinah. Rasulullah memperhatikan mereka satu per satu. Beliau sisihkan menantunya, Abul-`Ash, dari para tawanan itu, lalu yang lainnya beliau bagi-bagikan kepada para sahabat seraya mengatakan, “Perlakukanlah para tawanan dengan baik.”

Tinggallah Abul-Ash berada dalam pengawasan Nabi SAW sampai datang para utusan kaum Quraisy untuk menebus mereka. Mereka memberikan harga tinggi untuk menebus sehingga ada seorang perempuan yang bertanya berapa harga tertinggi untuk menebus seorang Quraisy, lalu dikatakan kepadanya, “Empat ribu dirham.” Maka ia berikan seharga itu untuk menebus anaknya, suaminya, atau ayahnya.

Zainab ingin pula menebus suaminya. Maka ia utus `Amr bin Rabi` menghadap Nabi SAW dan mengirimkan sebuah kantung yang tak diketahui oleh Amr apa isinya.

`Amr, saudara Abul-`Ash ini, menghadap Nabi dan mengatakan, “Zainab binti Muhammad  mengutus saya membawa ini untuk menebus suaminya, yang tak lain adalah saudara saya, Abul-`Ash bin Rabi`.”

Kemudian ia keluarkan kantung dari balik pakaiannya dan ia serahkan kepada Nabi. Ternyata di dalamnya terdapat kalung akik dari Zhufar, suatu negeri di Yaman.

Saat melihatnya, Nabi SAW sangat terharu. Ia yakin, kalung itu adalah milik Khadijah. Ingatannya kembali ke Makkah, tempat jenazah Khadijah dikuburkan di Hujun. Beliau juga teringat hari-hari saat Khadijah bersama beliau mengalami ujian-ujian yang sangat berat tapi tetap sabar bersamanya dan bahkan mendorong beliau untuk terus bersabar menghadapi kekerasan dan siksaan kaumnya.

Kalung itu adalah milik Khadijah yang dihadiahkan kepada putrinya, Zainab, pada hari perkawinannya ketika ia dibawa ke tempat Abul-`Ash, putra bibinya, Halah.

Para sahabat menunduk tertegun. Situasinya sangat mengharukan. Kalung sang kekasih yang telah pergi dikirmkan oleh sang putri untuk menebus suaminya yang tercinta.

Zainab ingin membangkitkan perasaan ayahnya dengan kenangan yang mulia terhadap dirinya dan diri Khadijah. Dengan kalung ibunda yang telah pergi itu, Zainab mencoba untuk membebaskan suaminya.
Setelah beberapa saat terdiam, Nabi berkata sebagai seorang ayah yang penyayang dan seorang nabi yang pengasih, “Jika kalian berpendapat suaminya yang ditawan itu dapat dibebaskan dan kalungnya dikembalikan kepadanya, lakukanlah.”
Para sahabat menjawab, “Ya, Rasulullah.”
Rasulullah SAW kemudian menyuruh Abul-`Ash, yang tentu juga sangat terharu dengan situasi itu, agar mendekat kepada beliau. Kemudian beliau membisikkan kepadanya sesuatu yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.
Abul-`Ash mengangguk, tanda setuju. Setelah itu ia mengucapkan salam hormat lalu beranjak pergi.
Setelah ia jauh, Rasulullah SAW menoleh kepada para sahabat yang berada di sekitar beliau. Beliau memuji Abul-`Ash dengan mengatakan, “Demi Allah, kami tidak pernah mencelanya sebagai seorang menantu.”

Zainab menanti suamianya yang pergi. Ia adalah istri yang terbaik. Ketika ia berpikir untuk menebusnya, ia tebus suaminya dengan barang termahal yang ia miliki. Dengan ini ia ingin memberikan contoh yang nyata bagi kaum mukminat dalam memperhatikan suami.

Pada saat itu Abul-`Ash berangkat sebagai seorang musyrik yang berperang melawan kaum muslimin. Tetapi Zainab melihat, suaminya ini memiliki akhlaq Islam dan bahwa ia dekat dengan Islam. Karena itu ia berpikir bahwa dengan berbagai cara ia harus melindungi suaminya.

Abul-`Ash pun tiba di tempat istrinya. Zainab pun meloncat kegirangan. Ia menyambutnya dan mengucapkan selamat kepadanya. Kemudian ia bersyukur kepada Allah, yang telah mengembalikan suaminya dengan selamat. Dengan penuh kerendahan dan sambil menangis ia pun memohon kepada Allah agar memberinya petunjuk dan membukakan hatinya agar mau memeluk Islam.

Tetapi kemudian Zainab melihat kesedihan di wajah suaminya. Zainab bertanya apa yang terjadi padanya. Ia berusaha untuk menyenangkannya dari apa yang menimpanya. Dia suaminya yang tercinta. Dengan penuh kebanggaan Zainab ingat kepada suaminya saat ia tetap mempertahankannya dan menentang orang-orang Quraisy yang menawarkan kepada para menantu Rasulullah untuk mengembalikan anak-anak beliau kepada beliau untuk menyibukkan beliau dengan mereka daripada urusan dakwah.

Kedua suami saudara Zainab, yakni suami Ruqayyah sebelum menikah dengan Utsman dan suami Ummu Kultsum, menerima penawaran mereka dan mengembalikan istri-istri mereka kepada ayahnya. Sedangkan Abul-`Ash dengan tegas menolak. “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku. Tidak ada wanita lain dari kaum Quraisy yang dapat menggantikan istriku.”
“Ada apa denganmu, wahai putra bibiku?” tanya Zainab.
“Aku datang untuk berpisah denganmu, wahai Zainab!” Ucapan Abul-`Ash terhambat oleh air mata yang tertahan di matanya.
“Apakah kali ini orang-orang Quraisy berhasil mempengaruhimu dan memaksamu untuk menceraikan aku?!”
Abul-`Ash diam, tidak dapat menjawabnya. Itu perpisahan abadi antara dirinya dan orang yang dicintainya jika ia tidak masuk Islam.

Zainab mendesaknya untuk berbicara, mengungkapkan apa yang ia sembunyikan dalam hatinya.
Suami tercinta itu dapat memahami perasaan yang ada dalam hati istri tersayangnya. Kemudian ia berkata dan seolah-olah hatinya lebur dalam suaranya, “Kasihku, sesungguhnya ayahmulah yang memintaku untuk mengembalikanmu kepadanya, karena Islam telah memisahkan aku denganmu. Aku telah berjanji kepada ayahmu untuk membiarkanmu pergi kepadanya, dan aku tidak mau mencederai janjiku.”

Zainab pun terduduk karena sangat lemah, tetapi kebahagiaan yang besar menguasai hatinya. Ia akan segera hijrah ke tempat ayahnya dan kedua saudara perempuannya, serta akan memandang makam saudaranya, Ruqayyah. Kehidupannya akan berada di antara masyarakat mukminin di Madinah, dan berjumpa dengan kaum Muhajirin yang meninggalkan rumah mereka dan kota mereka. Ia benar-benar menikmati kebahagiaan ini dan kemudian bertanya, “Berapa lama lagi kita tinggal bersama-sama?”
Abul-`Ash menjawab dengan suara yang lemah dan terbata-bata, “Tidak lama. Hanya beberapa hari, sekadar engkau berkemas-kemas untuk melakukan perjalanan... dan setelah itu engkau dapat pergi.”
“Apakah aku pergi sendiri?” tanya Zainab.
“Tidak, engkau akan ditemani oleh Zaid bin Haritsah bersama seorang sahabatnya dari para penolong ayahmu. Ia akan menunggumu di Bathn Ya’jij, yang jauhnya delapan mil dari Makkah, sehingga engkau akan pergi bersama mereka, lalu mereka akan menemanimu menuju ayahmu di Yatsrib.”
Zainab lalu bertanya dengan sedih, “Apakah engkau tidak akan menemaniku ke negeri hijrah?”
“Tidak, wahai putri bibiku,” jawabnya. Kemudian Abul-`Ash mengusap air matanya dan keluar dari rumah.

Zainab memahami bahwa Allah SWT telah memerintahkan perpisahan ini dan ia tidak dapat tidak selain melaksanakan perintah-Nya. Ia menunggu beberapa hari sampai datang waktunya.

Mulailah Zainab bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Pada pagi hari di hari  keberangkatannya ia bertemu dengan Hindun bin `Utbah, yang menaruh dendam karena beberapa keluarganya mati di Perang Badar. Dengan daya tangkapnya yang cepat, Hindun tahu bahwa Zainab berkemas-kemas untuk menyusul ayahnya, tetapi ia ingin memastikannya. Maka ia mendekati Zainab dan berkata dengan lembut, “Wahai putri Muhammad, telah sampai berita kepadaku bahwa engkau akan menyusul ayahmu.”

Zainab bingung, tak tahu harus menjawab apa.

Kemudian Hindun melanjutkan kata-katanya, “Wahai putri pamanku, jika engkau mempunyai kebutuhan untuk bekal perjalananmu, katakan saja kepadaku. Aku akan memenuhi kebutuhanmu. Apa yang menjadi urusan kaum laki-laki tidak menjadi urusan kaum perempuan.”

Kalimat yang lembut ini menyentuh hati Zainab. Maka ia ingin memberitahukannya saat keberangkatannya yang sudah dekat. Tetapi ia agak khawatir karena sikap Hindun dalam membangkitkan api kedengkian dan balas dendam di kalangan Quraisy sangat jelas dan nyata, sama sekali tidak ada kesamaran. Zainab berpikir, “Demi Allah, menurutku ia mengatakan demikian karena memang ingin melakukannya. Tetapi aku agak khawatir kepadanya. Maka aku menyangkal bahwa aku ingin menyusul ayah ke Yatsrib.”

Lalu tibalah waktunya. Zainab berpisah dengan Abul-`Ash bin Rabi` dengan perpisahan yang hangat, perpisahan yang disertai perasaan cinta, bukan nafsu, apalagi di dalam perutanya terdapat janin yang mengikat keduanya.

Abul-`Ash tidak dapat pergi bersama Zainab ke tempat yang ditentukan. Perasaannya telah membuatnya lemah dan kemudian ia jatuh di hadapan Zainab sambil menangis, yang menambah pedih perpisahan itu.

Ia membiarkan saudaranya, Kinanah bin Rabi`, pergi bersama Zainab ke tempat Zaid bin Haritsah dan temannya menunggu. Maka bertolaklah Kinanah mengendarai untanya siang hari di hadapan kaum Quraisy. Ia menyiapkan busur dan anak panahnya, bersiap-siap kalau-kalau ada serangan.

Kepergian putri Nabi Muhammad SAW itu dipandang seperti tantangan yang terang-terangan terhadap kaum Quraisy. Maka berangkatlah beberapa orang di antara mereka di belakang Zainab. Mereka mempercepat perjalanan hingga dapat menyusul di suatu tempat yang disebut Dzu Thuwa. Orang Quraisy yang paling dulu dapat mendekatinya adalah Hubar bin Al-Aswad Al-Asadiy, yang sangat marah dan sedih karena kehilangan tiga orang saudaranya yang terbunuh pada Perang Badar.

Orang kafir yang telah kehilangan rasa kemanusiannya itu menakut-nakuti Zainab dengan tombak, kemudian mendorong unta yang dinaiki Zainab, yang membuatnya jatuh telentang di atas batu yang keras.

Melihat kejadian itu, Kinanah segera memasang anak panah dan merentangkan busurnya seraya mengancam, “Demi Allah, siapa pun yang berani mendekat, akan aku panah.”
Maka para pengejar yang pengecut itu pun berhenti.

Pada saat itu Abu Sufyan, yang berdiri agak jauh, berkata kepada Kinanah, “Turunkan panahmu agar kita bisa berbicara baik-baik.”
Kinanah pun menurunkannya.

Lalu Abu Sufyan mendatanginya dan berkata, “Engkau melakukan hal yang salah, wahai putra Rabi`. Engkau keluar bersama wanita ini secara terang-terangan di depan orang-orang. Padahal engkau tahu bahwa kami baru saja menderita kekalahan dari Muhammad. Maka orang-orang akan mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kelemahan dan rasa takut kami. Kami melakukannya bukan karena kami butuh untuk menghalangi dia berjumpa ayahnya. Kami hanya minta engkau kembali bersamanya. Lalu setelah situasi kembali tenang dan orang-orang mengatakan bahwa kami telah berhasil mengembalikannya ke Makkah, engkau boleh mengantarnya kepada ayahnya secara sembunyi-sembunyi.”

Berat bagi Kinanah untuk mengembalikan Zainab dan kemudian kembali dengannya secara sembunyi setelah tersebar berita bahwa orang Quraisy mengembalikannya, kalau ia tidak mendengar suara Zainab merintih kesakitan, lalu ia menoleh kepadanya karena khawatir melihatnya mengucurkan darah. Ternyata ia keguguran setelah terjatuh itu.

Setelah itu Kinanah kembali lagi dengan Zainab ke Makkah.
Abul-`Ash berada di sisi Zainab terus selama beberapa hari, tidak mau meninggalkannya sampai Zainab agak kuat.

Barulah kemudian Kinanah berangkat dengannya kembali hingga menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dalam keadaan merasakan lemah akibat keguguran yang dialaminya.

Fathimah khawatir terhadap kakak tertuanya, Zainab, karena beberapa hari terlambat. Ia terus merasa khawatir sampai Zainab tiba di Madinah bersama putranya, Ali, dan putrinya, Umamah. Ia segera berlari untuk menjumpai kakak tertuanya. Tetapi kemudian ia merasa sedih melihat kondisi kakaknya itu.

Bersama ayahnya Fathimah mendengarkan cerita Zainab mengenai apa yang dialaminya dari perlakuan orang-orang Quraisy yang keji.

Para sahabat marah mengetahui apa yang menimpa Zainab. Demikian juga Rasulullah SAW.
Kemudian pasukannya membicarakan kemarahan beliau dan menyampaikannya ke Makkah. Rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabatnya agar membakar dua laki-laki jahat itu, Hubar dan sahabatnya, apabila mereka dapat menangkapnya.

Kemudian Nabi SAW menyendiri dan memikirkan perintahnya untuk membakar kedua laki-laki itu sampai akhirnya beliau melihat bahwa perintah tersebut melampaui batas. Ketika datang waktu subuh, beliau mengirim utusan kepada para sahabat itu agar membatalkan perintah beliau sebelumnya, dan menggantinya dengan membunuh saja.

Lalu tinggallah Zainab di rumah ayahnya bersama saudaranya, Ummu Kultsum. Fathimah pun tidak jauh dari mereka berdua, karena rumah-rumah mereka berdekatan dan mereka sering bertemu. Di malam hari mereka suka mengobrol dan Zainab terkadang mengeluarkan air mata kesedihan atas wafatnya Ruqayyah.

Zainab dari sakitnya, dan kemudian ia mendidik anak laki-lakinya, Ali, dan anak perempuannya, Umamah, dengan pendidikan Islami.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Share