Hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Pencipta-nya.
Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, dalam kitab Maulid-nya, Simthud Durar, menuliskan perihal nur Muhammad, “Telah sampai kepada kami dalam hadits-hadits yang termasyhur bahwa sesuatu yang awal mula diciptakan Allah SWT adalah cahaya yang tersimpan dalam pribadi agung (Muhammad SAW) ini. Maka cahaya manusia inilah makhluk pertama yang muncul dalam penciptaann-Nya. Darinya berasal seluruh wujud alam ini yang baru datang ataupun yang sebelumnya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan sanadnya yang bersambung sampai kepada sahabat Jabir bin Abdullah Al-Anshari, ia pernah bertanya, ‘Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang diciptakan Allah sebelum makhluk lainnya.’
Rasulullah menjawab, ‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan cahaya nabimu dari cahaya-Nya sebelum menciptakan yang lain.’ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Aku adalah yang pertama di antara para nabi dalam penciptaan, tapi yang terakhir dalam kerasulan’.”
Yang Pertama Tercipta
Konsep nur Muhammad, bila memperhatikan hadits yang dikutip oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di atas, telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah juga mengatakan kepada Jabir terkait dengan hal itu, “Nur nabimu, wahai Jabir, kemudian Allah SWT menciptakan segala kebaikan dari nurku.”
Nur Muhammad itulah yang menjadikan sebagian manusia menjadi insan kamil. Namun demikian, insan kamil yang muncul di setiap zaman semenjak zaman Nabi Adam hingga akhir zaman nanti, tidak dapat melebihi keutamaan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diungkap dalam surah Al-Qalam ayat 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah pribadi yang agung.” Sementara sebuah hadits menyebutkan. “Aku adalah penghulu anak-cucu Adam.” Dan dalam redaksi hadits lainnya disebutkan, “Aku telah menjadi nabi dan Adam masih berada antara air dan tanah, antara ruh dan jasad.”
Redaksi kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hubungan yang ada antara nur Muhammad dan Allah SWT bersifat vertikal, yaitu jalinan antara makhluk dengan Khalik-nya. Nur Muhammad berada pada sisi yang diciptakan, sementara Allah SWT berada pada sisi lain, yaitu sebagai Penciptanya.
Baik nur Muhammad maupun Nabi Muhammad SAW, keduanya adalah ciptaan Allah SWT. Hanya saja, yang menghubungkan keduanya adalah penghubung yang tak terpisahkan. Nur Muhammad sebagai awal penciptaan tidak dapat dipisahkan dari Nabi Muhammad SAW, yakni Muhammad yang mempunyai nur. Allah menciptakan nur Muhammad agar dari sana makhluk dan alam tercipta secara zhahir.
Secara lahiriah, nur Muhammad adalah cahaya Allah, dalam arti bahwa nur Muhammad identik dengan kesempurnaan, keutamaan, dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah Ta’ala. Sebagai pribadi, pribadi Rasulullah SAW adalah pribadi yang dapat memberi contoh dalam mewujudkan sifat, nama, dan af’al (perbuatan) Allah SWT.
Adapun secara bathiniah, kedudukan tinggi Nabi Muhammad atau nur Muhammad SAW tersirat dari sebuah hadits Nabi SAW yang maknanya, “Cahaya yang pertama diciptakan Allah adalah cahayaku.” Juga sebuah hadits lainnya, “Sesungguhnya Allah SWT, ketika menciptakan Arasy, menulis padanya La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah dengan cahaya.”
Keterangan yang tersirat dari hadits tersebut menunjukkan, nur Muhammad digambarkan sebagai nur dari Allah sedang Nabi Muhammad SAW berasal dari “nur dzat” semata. Keduanya adalah baharu, ciptaan Allah SWT.
Makna di Balik UngkapanSaat digambarkan nur Muhammad sebagai wujud tajalli (penampakan) Allah dan Muhammad sebagai ciptaan Allah, dari sini kelihatan bahwa Allah SWT menempatkan Nabi Muhammad SAW pada martabat yang tinggi, sebagai rasul pembawa risalah, sebagai penerang bagi alam semesta, beroleh pengetahuan akan hal yang ghaib, dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan, sejumlah nama yang ditujukan untuk nur Muhammad sebenarnya bermakna satu, tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Hubungan nur Muhammad dengan Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam ungkapan yang berbeda tetapi bermakna satu, tampaknya menyalahi kaidah umum. Karena berdasarkan beberapa nash dan teori, Muhammad SAW diangkat oleh Allah SWT menjadi nabi dan rasul dalam usia 40 tahun, sebagai nabi terakhir, dan yang dilahirkan melalui ibu dan ayah. Sementara nur Muhammad adalah nur dari Allah SWT yang pertama kali diciptakan oleh-Nya. Pandangan itu disepakati oleh para ulama tasawuf lewat isyarat Al-Quran dan hadits.
Perbedaan tersebut tampaknya sulit dipertemukan, karena nur Muhammad adalah awal ciptaan Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. Dalam hal ini An-Nabhani berpendapat bahwa istilah pengucapanlah yang membedakan, namun dalam prinsipnya bermakna satu. Sebagai analoginya, hal ini dapat diamati ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, terkadang Malaikat Jibril berbentuk nur dan terkadang berbentuk sesuai keadaannya.
Selain itu, seandainya syari’at Nabi Muhammad datang bersamaan awal datangnya nur Muhammad, syari’at Nabi Adam AS dan syari’at para nabi dan rasul lainnya tidak akan bermakna dan bermanfaat sebagaimana mestinya, karena tentunya akan tergeser dengan kesempurnaan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, salah satu hikmah didahulukannya syari’at Nabi Adam AS dan nabi-nabi lainnya dan berakhir dengan syari’at Nabi Muhammad SAW adalah agar syari’at yang Allah turunkan kepada umat manusia dapat berjalan sesuai dengan kondisi dan zaman yang terus berproses sesuai sunnatullah.
Demikian pula diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir dan berbentuk manusia sebagaimana bentuk manusia lainnya. Hal tersebut dikarenakan obyek dan sasaran dakwahnya adalah juga manusia, yang sama bentuknya, sehingga tugas kenabian dan kerasulan mencapai sasaran karena sifatnya sama. Andai kata Nabi Muhammad SAW datang dalam bentuk nur Muhammad, tugas risalahnya tidak akan tercapai, karena sasaran dakwahnya berbeda bentuk dan sifatnya.
Hal itu juga sebagaimana yang disinggung dalam sebuah ayat Al-Quran, “Sesungguhnya Kami mengutusmu (Muhammad) untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”
Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan bahwa cahaya Rasulullah SAW itu bersinar meliputi seluruh alam semesta. Seperti halnya bila Rasulullah berjalan di jalan raya, maka semerbaklah bau harum darinya, sehingga aroma itu dijumpai pada setiap jalan yang telah dilewatinya.
Masalah nur Muhammad memang masalah hakikat. Masalah abstrak. Ia berada dalam ruang lingkup keimanan. Dalam hal ini, An-Nabhani kemudian merujuk pada beberapa kisah yang diabadikan dalam Al-Quran, seperti Maryam, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang mempunyai hal (keadaan) dan maqam (kedudukan) istimewa, sehingga keadaan yang mereka alami (peroleh) tidak dapat dipahami bila hanya disimak melalui akal pikiran atau melalui pancaindra. Kisah-kisah seperti Maryam yang melahirkan tanpa suami, dan Nabi Isa AS yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, adalah kejadian yang sangat luar biasa, dan hanya dapat dipahami melalui mata hati dan keimanan.
Kesempurnaan Sifat Rasulullah SAWHabib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dalam kitab Simthud Durar-nya kemudian menerangkan proses selanjutnya dari perjalanan nur Muhammad itu, “Dan manakala kebahagiaan abadi menampakkan pengamatannya yang tersembunyi mengkhususkan manusia yang dipilihnya dengan kekhususan yang sempurna, dititipkannya cahaya terang benderang ini pada berbagai sulbi dan rahim yang dimuliakan di antara penghuni jagat raya dan berpindah-pindah dari sulbi Adam, Nuh, dan Ibrahim, sehingga pada akhirnya sampailah ia ke ayahnya yang terpilih menerima kehormatan tiada terhingga, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang bijak dan berwibawa, serta ibundanya Aminah yang mulia, yang selalu merasa aman dan tenteram meskipun di tengah apa saja yang menggelisahkan....”
Setelah kelahirannya, akhlaq mulia Rasulullah SAW mengundang decak kagum setiap mata yang memandangnya dan setiap telinga yang mendengar perangai kebaikannya. Kesemuanya itu tak lain merupakan cerminan dari kesempurnaan sifat yang telah Allah pantulkan dari sifat-sifat-Nya yang sempurna.
Namun secara lahiriah, sebagaimana yang diterangkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, seorang muhaddits kenamaan, kesempurnaan dan keutamaan akhlaq Nabi Muhammad SAW itu lantaran hati yang bersih dan suci yang dimilikinya. Berdasarkan keterangan Al-Maliki, kebersihan dan kesucian hati Nabi Muhammad SAW melalui empat proses pembedahan (pembersihan).
Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW masih kecil. Kedua, ketika Nabi Muhammad SAW berusia sepuluh tahun. Hikmah pembedahan hati Nabi Muhammad pada usia ini karena pada usia sepuluh tahun adalah usia mendekati dewasa.
Ketiga, pada saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah ketika Malaikat Jibril datang membawa wahyu saat beliau diangkat menjadi nabi. Hikmah pada pembedahan ini adalah menambah kemuliaan padanya, serta kekuatan dan persiapannya menerima dan menyampaikan wahyu yang akan disampaikan kepadanya, agar beliau kuat serta dalam kedudukan yang sempurna dan suci.
Yang terakhir, atau yang keempat, adalah saat dada Nabi Muhammad SAW dibelah pada malam Isra. Hikmah pada pembedahan ini adalah mengangkat derajat kemuliaan Nabi Muhammad SAW serta kesiapannya berada di sisi Allah SWT.
Keterangan Al-Maliki di atas sejalan dengan konsep nur Muhammad yang identik dengan kesempurnaan, kemuliaan, dan keagungan. Dengan demikian, ungkapan nur Muhammad selalu dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad-lah yang memiliki keadaan dan sifat sempurna tersebut, baik secara jasmaniah maupun ruhaniah.
0 comments:
Post a Comment