Maulid, Sastra Cinta Perindu Rasul

Dari beberapa karya yang telah mendunia. Seiring jalannya tahun dan dahaga cinta. Ada empat atau lima karya yang sering dibaca oleh umat islam Indonesia. Kita perlu tahu riwayat hidup para penggores pena yang karyanya suka dibaca. Al-Barzanji, Al-Bushiri, Ad-Diba’i, dan Maulid Habsyi itu yang utama. Karena umat islam Indonesia banyak yang menyukainya. Semoga saja Allah Swt memberikan barakah kepada kita dan mereka. Sebab kemuliaan nabi saw Atqal Atqiya.
A. Al-Barzanji
Penyusun maulid ini bernama Syaikh As-Sayid Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al–Barzanji. Karya tulis maulid yang  sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar ini kemudian lebih dikenal dengan Maulid Al-Barzanji karena mengambil nisbah sang penyusun. Barzanji sendiri berasal dari nama Barzanj yaitu sebuah tempat yang terletak di wilayah Kurdistan, Irak. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak
Kitab Maulid Al-Barzanji adalah salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab serta Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang mampu menghafalnya di luar kepala.
Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada Kamis awal bulan Dzulhijjah 520 H (Januari tahun 1126) di Madinah Al-Munawwaroh serta wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban 584 H (27 September 1188) di Kota Madinah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.
Lengkap nasabnya ; Sayid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad bin Sayid Rasul bin Abdul Sayid bin Abdul Rasul bin Qalandar bin Abdul Sayid bin Isa bin Husain bin Bayazid bin Abdul Karim bin Isa bin Ali bin Yusuf bin Mansur bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Ismail bin Al-Imam Musa Al-Kadzim bin Al-Imam Ja’far As-Sodiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir in Al-Imam ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Sayidah Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Saw.
Dari silsilah nasabnya ini menunjukkan bahwa beliau ternyata juga adalah keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103), seorang mufti besar dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Madinah. Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji sendiri juga adalah seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah.
Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji dikenal sebagai seorang ulama yang menguasai banyak cabang ilmu, diantaranya ialah ilmu Sharaf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, Al-‘Arudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijalul Ahadits, dan Mustholahul Ahadits. Selain itu, Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji, juga adalah seorang khatib serta pengajar di Masjid Nabawi. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, namun masyhur pula dengan karamah serta kemakbulan doanya. Penduduk Madinah acap kali meminta pada beliau berdo’a untuk turunnya hujan pada musim-musim kemarau.
Diceritakan bahwa satu ketika di musim kemarau, ditengah beliau sedang menyampaikan khutbah Juma’ahnya, seseorang meminta beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa memohon hujan. Dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah berlaku pada zaman Nabi Muhammad saw dahulu. Menyaksikan peristiwa tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang berbunyi:
maulid-1
Dahulu al-Faruq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far beristisqa` memohon itu datang
Maka yang demikian wasilah mereka kepada Tuhan
Dan inilah wasilah kami dengan Imam bermata hati terang
Historical lahirnya Maulid Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dari kejadian perang salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib (Prancis, Jerman dan Inggris) berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan ukhuwah islamiyah. Prihatin atas keadaan ini, Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang memerintah dinasti Bani Ayyub (1174-1193 M atau 570-590 H) yang berpusat di Qahirah (Kairo), Mesir kemudian memotivasi kebangkitan ukhuwah islamiyah dengan cara menghimbau agar umat islam di seluruh dunia mau memperingati bersama – sama kelahiran nabi Muhammad Saw secara besar – besaran. Siapa saja yang mau berperan serta dalam perayaan akbar itu serta mampu memperlihatkan ekspresi kecintaannya pada nabi panutan tersebut semuanya dijanjikan akan mendapatkan hadiah yang pantas serta bernilai. Ini dilakukan oleh Sultan pada saat itu untuk mengimbangi seruan perayaan natal secara besar – besaran diseluruh dunia oleh kaum salib setelah mereka mampu menggerejakan Masjidil Aqsha.
Ide yang disuarakan oleh Sultan masyhur itu sebenarnya berasal dari usulan iparnya yaitu Mudzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Khalifah An-Nashir yang memegang pemerintahan di Baghdad amat menyambut baik ide serta seruan ini. Oleh karenanya, pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579_H/1183_M, Salahuddin sebagai penguasa yang diberi amanah menjaga Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jamaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada kaum muslimin dimana saja berada, bahwa mulai tahun 580_H/1184_M tiap tanggal 12 Rabiul Awal harus dirayakan peringatan Maulid Nabi saw dengan berbagai kegiatan yang dapat membangkitkan semangat umat Islam.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi saw hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diprakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi saw yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi saw beserta puji-pujian bagi Nabi saw dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertamanya adalah Syaikh As-Sayid Ja`far Al-Barzanji.
Ternyata peringatan Maulid Nabi saw yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut kembali oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa akhirnya menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Syeikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadzom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadzom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Nabi saw. Dalam bagian Nadzom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi saw pujaan, “Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.
Diantara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Syeikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
Ulama kelahiran Banten, Jawa Barat, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid Al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami satu-satunya anak Sayyid Ja’far Al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian mertuanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejaz (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (membacanya dengan tekanan suara yang tenang), nahwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam.
Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Al-Barzanji dilakukan bukan hanya di bulan Rabi’ul Awwal untuk memperingati kelahiran nabi saw akan tetapi telah merambah diberbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain.
B. Ad-Diba’
Satu karya Maulid yang masyhur dalam dunia Islam ialah maulid yang dikarang oleh seorang ulama besar dan ahli hadits yaitu Al-Imam Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar ad-Diba`i Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi`i.
Beliau dilahirkan pada 4 Muharram 866 H (8 Oktober 1461 M) dan wafat hari Juma’at 12 Rajab 944 H (15 Desember 1537 M). Keahliannya dalam bidang ilmu hadits amat terkenal dan tiada banding pada masa hayatnya. Syeikh Abdurrahman Ad-Diba’i mengajar kitab Shahih Al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai derajat Hafidz dalam ilmu hadits, yaitu seorang yang menghafal lebih dari 100,000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau mengajar hadits dari masjid ke masjid.
Diantara guru-gurunya ialah Al-Imam Al-Hafiz As-Sakhawi, Al-Imam Ibnu Ziyad, Al-Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Al-Imam Al-Hafiz Tahir bin Husain Al-Ahdal dan lain – lain. Selain itu, beliau juga masyhur sebagai seorang muarrikh (ahli sejarah) yang teliti. Di antara kitab – kitab karangan beliau ialah:
  • “Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul” yang mengandungi himpunan hadits yang dinukil daripada kitab hadits Kutubus Sittah.
  • “Tamyeezu at-Thoyyib min al-Khabith mimma yaduru ‘ala alsinatin naasi minal hadits” sebuah kitab yang membedakan hadits sahih dari selainnya seperti dhaif dan maudhu.
  • “Qurratul ‘Uyun fi akhbaril Yaman al-Maimun”.
  • “Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid”.
  • “Fadhail Ahl al-Yaman”.
C. Al-Bushiri
Maulid Al-Bushiri dikenal pula dengan nama Qashidah Burdah. Kitab Maulid yang disusun dengan model Qashidah atau Sya’ir ini disusun oleh seorang ulama besar bernama Syeikh Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Bushiri atau yang masyhur dengan julukannya Al-Imam Al-Bushiri. Dia adalah seorang keturunan suku Berber yang lahir di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir. Al-Imam Al-Bushiri merupakan seorang murid sufi besar, Al-Imam As-Syeikh As-Sayid Abil Hasan As-Syadzili dan penerusnya yang bernama Syeikh As-Sayid Abul Abbas Ahmad Al-Mursiy. Di bidang ilmu fiqih, Al-Bushiri menganut mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab fiqih mayoritas di Mesir.
Maulid Al-Bushiri merupakan sebuah karya populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad saw, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan. Hingga kini Maulid Al-Bushiri yang lebih dekenal dengan Qashidah Burdah itu masih sering dibaca di sebagian pesantren salaf dan pada acara – acara peringatan Maulid Nabi saw. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Prancis, Jerman dan Italia.
Al-Bushiri lahir pada tahun 610 H/1213 M dan wafat pada tahun 695 H/1296 M. Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al-Quran disamping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama dizamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah. Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia pada mulanya bekerja sebagai penyalin naskah-naskah. Louis Ma’luf juga menyatakan demikian di dalam Kamus Munjidnya.
Al-Bushiri hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasti Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya kasidah Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik, sosial, dan kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi saw yang bertungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, kembali kepada ajaran agama yang murni, Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Qashidah Burdah terdiri atas 160 bait (sajak) ditulis dengan gaya bahasa (uslub) yang menarik, lembut dan elegan. Berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, doa, pujian terhadap Al-Qur’an, Isra’ Mi’raj, jihad dan tawasul.
Dengan memaparkan kehidupan Nabi saw secara puitis, Al-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika qasidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf, dan bahkan diajarkan pada tiap hari Kamis dan Jumat di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Al-Burdah menurut etimologi banyak mengandung arti, antara lain pertama Baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya, teman-teman dan rakyatnya. Kedua nama bagi qasidah yang dipersembahkan kepada Rasulullah saw yang digubah oleh Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma.
Pada mulanya, burdah (dalam pengertian jubah) ini adalah milik Nabi Muhammad saw yang diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang penyair terkenal Muhadramin (penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam). Burdah yang telah menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut akhirnya dibeli oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan seharga duapuluh ribu dirham, dan kemudian dibeli lagi. oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari dinasti Abbasiyah dengan harga empat puluh ribu dirham. Oleh khalifah, burdah itu hanya dipakai pada setiap shalat fd dan diteruskan secara turun temurun.
Riwayat pemberian burdah oleh Rasulullah saw kepada Ka’ab bin Zuhair bermula dari Ka’ab yang menggubah syair yang senantiasa menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat. Karena merasa terancam jiwanya, ia lari bersembunyi untuk menghindari luapan amarah para sahabat. Ketika terjadi penaklukan Kota Makkah, saudara Ka’ab yang bernama Bujair bin Zuhair mengirm surat kcpadanya, yang isinya antara lain anjuran agar Ka’ab pulang dan menghadap Rasulullah, karena Rasulullah tidak akan membunuh orang yang kembali (bertobat). Setelah memahami isi surat itu, ia berniat pulang kembali ke rumahnya dan bertobat.
Kemudian Ka’ab berangkat menuju Madinah. Melalui ‘tangan’ Abu Bakar Siddiq, di sana ia menyerahkan diri kepada Rasulullah saw. Ka’ab memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu besarnya rasa hormat yang diberikan kepada Ka’ab, sampai-sampai Rasulullah melepaskan burdahnya dan memberikan kepadanya.
Ka’ab kemudian menggubah kasidah yang terkenal dengan sebutan Banat Su’ad (Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59 bait (puisi). Qasidah ini disebut pula dengan Qasidah Burdah. la ditulis dengan indahnya oleh kaligrafer Hasyim Muhammad Al-Baghdadi di dalam kitab kaligrafinya, Qawaid al-Khat al-Arabi.
Disamping itu, ada sebab-sebab khusus dikarangnya qasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’afnya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad saw. dimana Nabi saw mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi saw melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh Al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.
Selain Qasidah Burdah, Al-Bushiri juga menulis beberapa qasidah lain di antaranya A!-Qashidah Al-Mudhariyah dan Al-Qashidah Al-Hamziyah. Sisi lain dari profil Al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.
Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jamharat al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abu Abbas Ahmad Al-Mursi.
D. Maulid Al-Habsyi
Maulid ini disusun oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi. Oleh karenanya maulid ini sering pula disebut orang dengan sebutan Maulid Habsyi. Mengambil penamaan dari nisbahnya Al-Habib ‘Ali. Beliau lahir pada Jumaat 24 Syawal 1259 H (17 November 1843 M) di Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, Yaman. Oleh penyusunnya sendiri kitab maulid ini diberi judul Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).
Nama “Ali” bukan diberikan oleh ayahnya. Akan tetapi yang memberi nama adalah Al-‘Allamah Sayid Abdullah bin Husein bin Thahir dengan tujuan tabarruk pada datuk Al-Habib Ali yang bernama Sayid ‘Ali Khali’ Qasam.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Dalam buku Biografi Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang disusun oleh Drs Husein bin Anis Al-Habsyi (cicit penyusun yang tinggal di Indonesia) tersebut bahwa Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi menyusun kitab Simthut Durar pada saat usia beliau 68 tahun (berarti tahun 1911 M) – Lih, Biografi Habib Ali Al-Habsyi Muallif Simthut Durar, Pustaka Zawiyah, hal 60. Namun dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa beliau memulai mendiktekan paragraph awalnya tercatat pada hari Kamis 26 Safar 1327 H (berarti 19 Maret 1909 M). Dan pada malam sabtu 12 Rabi’ul Awwal 1327 H (3 April 1909 M) dirumah murid Habib Ali yang bernama Umar bin Hamid As-Segaf, beliau mulai membacakan maulid Simthut Durar untuk pertama kalinya. Dengan demikian mungkin yang benar Al-Habib Ali Al-Habsyi menyusun kitab ini bukan pada saat usia beliau 68 tahun akan tetapi ketika usia beliau 66 tahun.

Al-Habib Ali Al-Habsyi sebelum wafat sempat mengalami sakit selama kurang lebih dua tahun. Dalam sakitnya beliau sempat kehilangan penglihatannya. Akhirnya, pada Ahad 20 Rabi’uts Tsani 1333 H (7 Maret 1915 M) beliau wafat dan dimakamkan di kota Seiwun, Hadhramaut, Yaman.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Share