Mereka yang Bertawasul (Mutawassilun)
(i) Rasulullah juga bertawasul
Bertawasul itu ternyata bukanlah semata-mata sebagai ilmu atau amalan yang dikembangkan oleh orang-orang yang berthariqat saja, tetapi Rasulullah SAW sendiri bertawasul, dan semua umat Islam bertawasul di dalam shalatnya (yakni ketika bertasyahud). Kenyataan ini membuktikan bahwa landasan bertawasul tidak hanya menggunakan pijakan hadits Nabi yang perjalanannya sering diragukan keberadaannya (shahih atau tidak). Bahkan kaidah keshahihan menurut jumhur Ulama mulai dipermasalahkan oleh umat Islam sekuler.
Kita membaca do’a tasyahud dengan bacaan berikut:
“Yaa Allah berikan limpahan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya”.
Dasar bertawasul yang kami kemukakan di sini berdasarkan fakta peribadatan yang selalu kita lakukan sehari-hari. Rasulullah secara pribadi juga mengucapkan lafal yang sama dengan kita, bertawasul dengan maqam pribadi beliau yang telah ditentukan ketinggiannya di sisi Alah SWT.
Satu tela’ah lagi jika kita mau merenung, yaitu tentang keberadaan Nabi Ibrahim dalam kalimat tasyahud tersebut. Beliau As yang memiliki rentang waktu ratusan abad sebelum Nabi kita SAW masih tetap dijadikan sosok utama di antara para Nabi/Rasul lainnya. Hal ini dikarenakan dari sulbi beliau melahirkan generasi para Nabi setelahnya yang sambung menyambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalam pribadi Nabi Ibrahim As itu ternyata memiliki ketauladanan bagi orang-orang sesudahnya berkenaan masalah ketauhidan, yakni teguh dalam mempertahankan keyakinannya.
Demikian pula tersebut dalam suatu do’a Nubuwwah-nya beliau SAW pernah bersabda:
“Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon kepada Engkau dengan haq orang-orang yang bermohon kepada Engkau”.[1]
(ii) Para Nabi terdahulu melakukan tawasul
Ketika anak-anak Ya’qub As. merasa bersalah (karena berusaha mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan memohon kepada Ya’qub As. “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh hamba-Nya)”. (QS. Yusuf[12]: 96-98). Inilah salah satu bukti Tawasul yang dilakukan pada masa dahulu.
(iii) Para sahabat bertawasul
Diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif: ‘Seorang lelaki tuna netra datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Mohonkanlah kepada Allah agar menyembuhkanku’. Nabi SAW bersabda: ‘Jika engkau menghendaki aku akan mendo’akanmu, tapi jika engkau mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu’. Orang itu berkata: ‘Do’akanlah!’ Nabi kemudian memerintahkannya berwudhu dengan baik lalu shalat 2 raka’at, dan membaca do’a: ‘Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantara NabiMu, Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad, dengan perantaraanmu aku memohon kepada Tuhan Allah agar mengabulkan hajatku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku….’[2]
(iv) Orang-orang Yahudi pernah bertawasul dengan Nabi SAW
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkanapa yang ada pada mereka[3], padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (Q.S. Al-Baqarah[3]: 89)
Berkata Ibnu ‘Abbas Ra.: Orang-orang Yahudi Khaibar pada masa dahulu memerangi suku Ghathafan, tetapi setiap bertempur, Yahudi menderita kekalahan. Merekapun berlindung dan memanjatkan do’a:
“Yaa Tuhanku, sesungguhnya kami memohon dengan haq (kebenaran) Nabi yang Ummy, yang dijanjikan kepada kami akan datang kepada kami di akhir zaman, agar Engkau menolong kami mengalahkan mereka (musuh kami)”.
Setiap bertempur mereka berdo’a seperti ini sehingga akhirnya berhasil mengalahkan suku Gathafan. Namun setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka, mereka (orang-orang Yahudi itu) mengingkarinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas yang menyebabkan laknat Allah turun atas mereka (orang-orang Yahudi).[4]
Dalam riwayat lainnya diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Said atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi Madinah biasa memohon kemenangan terhadap orang-orang Aus dan Khazraj atas nama kedatangan Rasulullah SAW sebelum kebangkitannya. Maka setelah Allah membangkitkannya dari golongan Arab, mereka kafir kepadanya dan membantah apa yang pernah mereka katakan mengenainya. Maka kata Muadz bin Jabal, Bisyr bin Barra, dan Daud bin Salamah kepada mereka: “Hai golongan Yahudi, takutlah kamu kepada Allah dan masuk Islamlah! Bukankah kalian selama ini meminta kedatangan Muhammad untuk membantu kamu terhadap kami, yakni sewaktu kami berada dalam kemusyrikan, kamu katakan bahwa ia akan dibangkitkan bahkan kamu lukiskan sifat-sifatnya!” Jawab Salam bin Misykum: “Ia tidak membawa ciri-ciri[5] yang kami kenal, dan dia bukanlah seperti yang kami sebutkan kepadamu dulu”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas.[6]
(v) Para Ulama yang bertawasul
Banyak para Ulama yang mengamalkan tawasul, sehingga tidak mencukupi untuk dibentangkan di dalam tulisan yang terbatas ini. Namun cukup kiranya kami ungkapkan beberapa di antaranya, yaitu:
1. Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi[7], dalam permulaan kitabnya yang bernama Nafahat Syarah Waraqat disebutkan:
“Berkata saya Ahmad bin Abdillah al Khatib yang faqir kepada Allah, Tuhan yang memperkenankan do’a, Tuhan yang diharapkan ma’af dan ampunan-Nya, dengan kebesaran Rasul-Nya yang dikasihi”.
2. Syekh Sayid Bakri Syatha (w. 1310 H), di akhir kitabnya I’anatut Thalibin[8] menyebutkan:
“Saya tunduk merendah diri kepada Allah dan saya memohon karunia-Nya, bertawasul dengan Nabi-Nya yang mulia, supaya karangan ini berfaedah sebagaimana faedah yang telah dicapai oleh asalnya …… “
3. Syekh Nawawi al Bantani[9], menyebutkan di akhir kitabnya Tijanud Darari:
“Dan kepada Allah saya bermohon dan dengan Nabi-Nya saya bertawasul, supaya dijadikan-Nya kitab ini ikhlas bagi wajah-Nya yang mulia”.
4. Dll.
Pengarang kitab Khulashatul Wafa mengatakan bahwa:
“Bahwasanya tawasul dan tasyaffu’ (meminta syafa’at) dengan Nabi Muhammad dan dengan kebesaran-nya, dan dengan barakahnya adalah sunnah Rasul-rasul dan amal Ulama-ulama Salaf yang saleh”.[10]
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
[1] 100 masalah Agama, KHM. Syafi’i Hadzami, Menara Kudus, Jilid 2, hal. 42. Hadits yang senada ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Targhib wat Tarhib (Jilid 1, hal 179), Shahih Ibnu Khuzaimah, Ibnu Sunni, Abu Nu’aim. Dinilai Hasan oleh Al ‘Iraqi dan Ibnu Hajar. Juga tersebut dalam kitab Mughni ‘an Hamalil Ashfar, Ihya Juz I, hal. 223.
[2] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i, Baihaqi, Thabrani, Turmudzi dan Hakim, dan lainnya dengan lafazh berbeda.
[3] Maksudnya: kedatangan Nabi Muhammad SAW yang tersebut dalam Taurat di mana diterangkan sifat-sifatnya.
[4] Tafsir Al-Qurthubi, Juz II, hal. 26-27. Diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak-nya, dan Baihaqi dalam ad Dala-il. (lihat Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi)
[5] Diriwayatkan Ibnu Hatim dari jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, katanya: Pendeta-pendeta Yahudi menemukan sifat-sifat Nabi SAW tercantum dalam Taurat sebagai berikut: “Biji matanya hitam, tinggi badannya sedang, rambutnya keriting dan wajahnya rupawan”. Karena dengki dan iri hati, gambaran ini mereka hapus lalu mereka ganti dengan: “Kami temui tanda-tandanya sebagai seorang yang tinggi, biru matanya, dan berambut lurus”. (Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi)
[6] Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi.
[7] Salah seorang Ulama kelahiran Indonesia yang menjadi Imam di Masjid al Haram di Mekkah, dan menjabat sebagai Mufti Madzhab Syafi’i, wafat th. 1916 M.
[8] Syarah kitab Fathul Mu’in. Sebuah kitab Fikih yang dipakai hampir di seluruh pesantren dan sekolah agama di seluruh Indonesia.
[9] Seorang Ulama berasal dari Banten, yang bermukim di Mekkah sekitar tahun 1297 H. Pernah Imam masjid al Haram Mekkah ini diberi gelar Sayyidul Ulama al Hijaz. Beliau merupakan Ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab, di antaranya banyak yang dijadikan sebagai pegangan kitab kuning di pesantren-pesantren, seperti: Tijanud Darari (Syarah kitab Tauhid Ibrahim al Bajuri), Nihayatuz Zain (fikih Syafi’i), Syarah al Ajrumiah, Fathul Majid, Barzanji, Lubabul Bayan, Tafsir Munir, ‘Uqudul Lujain, dll.
[10] 40 Masalah Agama, Buku I, Sirajuddin Abbas.
http://jalansufi.com/
(i) Rasulullah juga bertawasul
Bertawasul itu ternyata bukanlah semata-mata sebagai ilmu atau amalan yang dikembangkan oleh orang-orang yang berthariqat saja, tetapi Rasulullah SAW sendiri bertawasul, dan semua umat Islam bertawasul di dalam shalatnya (yakni ketika bertasyahud). Kenyataan ini membuktikan bahwa landasan bertawasul tidak hanya menggunakan pijakan hadits Nabi yang perjalanannya sering diragukan keberadaannya (shahih atau tidak). Bahkan kaidah keshahihan menurut jumhur Ulama mulai dipermasalahkan oleh umat Islam sekuler.
Kita membaca do’a tasyahud dengan bacaan berikut:
“Yaa Allah berikan limpahan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya”.
Dasar bertawasul yang kami kemukakan di sini berdasarkan fakta peribadatan yang selalu kita lakukan sehari-hari. Rasulullah secara pribadi juga mengucapkan lafal yang sama dengan kita, bertawasul dengan maqam pribadi beliau yang telah ditentukan ketinggiannya di sisi Alah SWT.
Satu tela’ah lagi jika kita mau merenung, yaitu tentang keberadaan Nabi Ibrahim dalam kalimat tasyahud tersebut. Beliau As yang memiliki rentang waktu ratusan abad sebelum Nabi kita SAW masih tetap dijadikan sosok utama di antara para Nabi/Rasul lainnya. Hal ini dikarenakan dari sulbi beliau melahirkan generasi para Nabi setelahnya yang sambung menyambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalam pribadi Nabi Ibrahim As itu ternyata memiliki ketauladanan bagi orang-orang sesudahnya berkenaan masalah ketauhidan, yakni teguh dalam mempertahankan keyakinannya.
Demikian pula tersebut dalam suatu do’a Nubuwwah-nya beliau SAW pernah bersabda:
“Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon kepada Engkau dengan haq orang-orang yang bermohon kepada Engkau”.[1]
(ii) Para Nabi terdahulu melakukan tawasul
Ketika anak-anak Ya’qub As. merasa bersalah (karena berusaha mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan memohon kepada Ya’qub As. “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh hamba-Nya)”. (QS. Yusuf[12]: 96-98). Inilah salah satu bukti Tawasul yang dilakukan pada masa dahulu.
(iii) Para sahabat bertawasul
Diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif: ‘Seorang lelaki tuna netra datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Mohonkanlah kepada Allah agar menyembuhkanku’. Nabi SAW bersabda: ‘Jika engkau menghendaki aku akan mendo’akanmu, tapi jika engkau mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu’. Orang itu berkata: ‘Do’akanlah!’ Nabi kemudian memerintahkannya berwudhu dengan baik lalu shalat 2 raka’at, dan membaca do’a: ‘Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantara NabiMu, Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad, dengan perantaraanmu aku memohon kepada Tuhan Allah agar mengabulkan hajatku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku….’[2]
(iv) Orang-orang Yahudi pernah bertawasul dengan Nabi SAW
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkanapa yang ada pada mereka[3], padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (Q.S. Al-Baqarah[3]: 89)
Berkata Ibnu ‘Abbas Ra.: Orang-orang Yahudi Khaibar pada masa dahulu memerangi suku Ghathafan, tetapi setiap bertempur, Yahudi menderita kekalahan. Merekapun berlindung dan memanjatkan do’a:
“Yaa Tuhanku, sesungguhnya kami memohon dengan haq (kebenaran) Nabi yang Ummy, yang dijanjikan kepada kami akan datang kepada kami di akhir zaman, agar Engkau menolong kami mengalahkan mereka (musuh kami)”.
Setiap bertempur mereka berdo’a seperti ini sehingga akhirnya berhasil mengalahkan suku Gathafan. Namun setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka, mereka (orang-orang Yahudi itu) mengingkarinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas yang menyebabkan laknat Allah turun atas mereka (orang-orang Yahudi).[4]
Dalam riwayat lainnya diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Said atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi Madinah biasa memohon kemenangan terhadap orang-orang Aus dan Khazraj atas nama kedatangan Rasulullah SAW sebelum kebangkitannya. Maka setelah Allah membangkitkannya dari golongan Arab, mereka kafir kepadanya dan membantah apa yang pernah mereka katakan mengenainya. Maka kata Muadz bin Jabal, Bisyr bin Barra, dan Daud bin Salamah kepada mereka: “Hai golongan Yahudi, takutlah kamu kepada Allah dan masuk Islamlah! Bukankah kalian selama ini meminta kedatangan Muhammad untuk membantu kamu terhadap kami, yakni sewaktu kami berada dalam kemusyrikan, kamu katakan bahwa ia akan dibangkitkan bahkan kamu lukiskan sifat-sifatnya!” Jawab Salam bin Misykum: “Ia tidak membawa ciri-ciri[5] yang kami kenal, dan dia bukanlah seperti yang kami sebutkan kepadamu dulu”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas.[6]
(v) Para Ulama yang bertawasul
Banyak para Ulama yang mengamalkan tawasul, sehingga tidak mencukupi untuk dibentangkan di dalam tulisan yang terbatas ini. Namun cukup kiranya kami ungkapkan beberapa di antaranya, yaitu:
1. Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi[7], dalam permulaan kitabnya yang bernama Nafahat Syarah Waraqat disebutkan:
“Berkata saya Ahmad bin Abdillah al Khatib yang faqir kepada Allah, Tuhan yang memperkenankan do’a, Tuhan yang diharapkan ma’af dan ampunan-Nya, dengan kebesaran Rasul-Nya yang dikasihi”.
2. Syekh Sayid Bakri Syatha (w. 1310 H), di akhir kitabnya I’anatut Thalibin[8] menyebutkan:
“Saya tunduk merendah diri kepada Allah dan saya memohon karunia-Nya, bertawasul dengan Nabi-Nya yang mulia, supaya karangan ini berfaedah sebagaimana faedah yang telah dicapai oleh asalnya …… “
3. Syekh Nawawi al Bantani[9], menyebutkan di akhir kitabnya Tijanud Darari:
“Dan kepada Allah saya bermohon dan dengan Nabi-Nya saya bertawasul, supaya dijadikan-Nya kitab ini ikhlas bagi wajah-Nya yang mulia”.
4. Dll.
Pengarang kitab Khulashatul Wafa mengatakan bahwa:
“Bahwasanya tawasul dan tasyaffu’ (meminta syafa’at) dengan Nabi Muhammad dan dengan kebesaran-nya, dan dengan barakahnya adalah sunnah Rasul-rasul dan amal Ulama-ulama Salaf yang saleh”.[10]
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
[1] 100 masalah Agama, KHM. Syafi’i Hadzami, Menara Kudus, Jilid 2, hal. 42. Hadits yang senada ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Targhib wat Tarhib (Jilid 1, hal 179), Shahih Ibnu Khuzaimah, Ibnu Sunni, Abu Nu’aim. Dinilai Hasan oleh Al ‘Iraqi dan Ibnu Hajar. Juga tersebut dalam kitab Mughni ‘an Hamalil Ashfar, Ihya Juz I, hal. 223.
[2] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i, Baihaqi, Thabrani, Turmudzi dan Hakim, dan lainnya dengan lafazh berbeda.
[3] Maksudnya: kedatangan Nabi Muhammad SAW yang tersebut dalam Taurat di mana diterangkan sifat-sifatnya.
[4] Tafsir Al-Qurthubi, Juz II, hal. 26-27. Diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak-nya, dan Baihaqi dalam ad Dala-il. (lihat Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi)
[5] Diriwayatkan Ibnu Hatim dari jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, katanya: Pendeta-pendeta Yahudi menemukan sifat-sifat Nabi SAW tercantum dalam Taurat sebagai berikut: “Biji matanya hitam, tinggi badannya sedang, rambutnya keriting dan wajahnya rupawan”. Karena dengki dan iri hati, gambaran ini mereka hapus lalu mereka ganti dengan: “Kami temui tanda-tandanya sebagai seorang yang tinggi, biru matanya, dan berambut lurus”. (Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi)
[6] Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi.
[7] Salah seorang Ulama kelahiran Indonesia yang menjadi Imam di Masjid al Haram di Mekkah, dan menjabat sebagai Mufti Madzhab Syafi’i, wafat th. 1916 M.
[8] Syarah kitab Fathul Mu’in. Sebuah kitab Fikih yang dipakai hampir di seluruh pesantren dan sekolah agama di seluruh Indonesia.
[9] Seorang Ulama berasal dari Banten, yang bermukim di Mekkah sekitar tahun 1297 H. Pernah Imam masjid al Haram Mekkah ini diberi gelar Sayyidul Ulama al Hijaz. Beliau merupakan Ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab, di antaranya banyak yang dijadikan sebagai pegangan kitab kuning di pesantren-pesantren, seperti: Tijanud Darari (Syarah kitab Tauhid Ibrahim al Bajuri), Nihayatuz Zain (fikih Syafi’i), Syarah al Ajrumiah, Fathul Majid, Barzanji, Lubabul Bayan, Tafsir Munir, ‘Uqudul Lujain, dll.
[10] 40 Masalah Agama, Buku I, Sirajuddin Abbas.
http://jalansufi.com/
0 comments:
Post a Comment