Budaya Nongkrong

Anak muda dan nongkrong adalah dua hal yang sudah melekat. Di sekolah-sekolah usai jam pelajaran, di kampus-kampus di antara jam kuliah, bahkan di kantor-kantor sepulang jam kantor, Anda akan mudah menjumpai kelompok-kelompok anak muda yang duduk-duduk nongkrong. Topik obrolan bisa dari ujung ke ujung. Dari rapat membicarakan kegiatan atau kepanitiaan, mendiskusikan topik-topik yang dianggap serius, atau hanya sekadar membuang waktu sambil ngegossip atau malah main kartu. Bagi anak muda, nongkrong itu yang terpenting adalah adanya kedekatan afeksi dengan teman-teman peer group. Faktor lainnya jadi pendukung.
 Mau di lantai teras ruang kuliah, selasar kampus, atau sekadar di tembok beton yang bisa ditongkrongi, di manapun mereka merasa nyaman berada dengan teman-temannya, disitulah kegiatan nongkrong bisa berlangsung berjam-jam. Kini kehidupan urban yang modern semakin banyak menyajikan pilihan ketimbang sekadar tembok beton bawah pohon rindang atau kantin taman kampus. Nongkrong bisa lebih nyaman lagi di cafe-cafe yang semakin mudah Anda jumpai di kota-kota besar tanah air. Dari yang sudah punya nama seperti Starbuck, The Coffee Bean & Tea Leaf, Oh La La, Excelso, hingga cafe-cafe yang kurang bernama. Di beberapa perguruan tinggi pun kini cafe juga sudah masuk kampus. Kebiasaan minum kopi pun sontak jadi trend. Namun sebetulnya bukan minuman kopi yang pertama-tama dituju anak-anak muda jika mereka nongkrong di cafe. Riset MarkPlus menunjukkan hanya sedikit sekali anak muda yang merupakan penikmat kopi sejati atau coffee connoisseur. Mayoritas sebetulnya adalah light drinker atau bahkan yang menolak kopi karena lambungnya tidak kuat dengan asam kopi. Apa yang sesungguhnya anak muda cari di cafe-cafe? Jika Anda perhatikan suasana cafe-cafe itu, dengan lampu yang tidak terlalu terang benderang, tetapi juga tidak terlalu temaram, kemudian kursi yang cukup nyaman untuk duduk lama atau malah bahkan sofa, dan sayup-sayup suara musik di latar belakang,
Anda akan menemukan suasana yang akan membuat Anda betah berada di situ lama-lama. Ambience atau
suasana itu adalah kuncinya. Kombinasi dari cahaya, tempat duduk, musik, dan mungkin juga aroma dari kopi yang baru diseduh dapat membangkitkan mood yang menyenangkan untuk membuat suasanan ongkrong lebih nikmat. Selain cafe, mal juga jadi tempat favorit anak muda untuk nongkrong. Tengok saja
mal-mal yang letaknya tidak jauh dari lokasi kampus, terutama pada jam-jam siang sehabis kuliah. Setelah didera kepenatan mendengarkan dosen ditambah panasnya udara kota, betapa nyaman nongkrong di mal yang disejuki AC. Persaingan antar mal untuk merebut pengunjung mendorong mal-mal berlomba menciptakan suasana yang nyaman bagi pengunjung, termasuk untuk kaum muda yang gemar nongkrong. Kiatnya, menciptakan ambience yang unik. Ini juga salah salah satu cara mal mendeferesiasikan dirinya. Kalau tidak, apa bedanya mal satu dengan yang lainnya karena sesungguhnya barang- barang yang dijual tidak jauh berbeda. Tempat untuk kongko-kongko sambil menikmati makanan atau minuman dengan harga
yang relatif terjangkau memang harus mutlak ada di mal. Namun selebihnya adalah faktor suasana. Sebab,
kebanyakan anak muda memang datang ke mal hanya untuk sekedar hang-out bersama peer groupnya. Biasanya mereka datang ke mal dalam kumpulan setidaknya tiga orang. Agak jarang kita lihat anak muda jalan luntang-lantung sendirian di mal, kecuali mungkin lagi bete. Faktor suasana inilah yang mendorong setiap mal berusaha memberikan nafas ambience yang berbeda-beda. Bahkan ada juga sebuah mal yang memberikan berbagai ambience yang berbeda-beda untuk setiap lantai atau sektornya. Mampir saja ke lantai atas Grand Indonesia. Di sana ambience yang ingin dibangun dibuat berbeda-beda. Ada suasana dengan nuansa Arabic, China, Jepang, Italia, atau Amerika. Jika suasana yang dibangun mal berhasil kena di hati anak muda, jangan heran jika akhirnya Anda melihat sekelompok anak muda betah duduk nongkrong  berjam-jam di mal sekadar menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya. Apalagi untuk kelompok anak muda dengan kategori remaja baru gede, saling lirik antarkelompok laki- laki dan perempuan tentu juga jadi kegairahan tersendiri. Tempat-tempat favorit mereka ini biasanya adalah restoran- restoran cepat saji atau foodcourt yang lebih banyak menyajikan berbagai pilihan macam makanan. Inilah yang membedakan tujuan anak muda dan orang dewasa pergi ke mal. Bergesernya skala prioritas dari prioritas pada teman menjadi prioritas pada pekerjaan atau keluarga membuat orang dewasa akan menggunakan waktunya lebih efektif ke mal, terutama pada hari kerja. Alasan-alasan yang lebih praktis dan fungsional memang biasanya lebih jadi pertimbangan orang dewasa. Apalagi pada hari kerja, jarak mal dari lokasi tempat kerja malah mungkin adalah yang jadi pertimbangan utama. Karenanya, suasana atau ambience mal bagi mereka relatif tidak terlalu penting. Suatu ketika saya pernah bertamu ke rumah seorang teman, menjemputnya untuk nongkrong di cafe. Ketika kami berpamitan ke bapaknya, orangtua itu menjawab, "Ngapain nongkrong di cafe? Kalau mau minum kopi, di rumah kan bisa bikin kopi ?"Kami pun tersenyum kecut.


sumber : harian kompas

diposkan oleh : tantowi jauhari

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Share