Inilah kisah tentang ketulusan. Halimah as-Sa’diyah, seorang wanita desa bersahaja, pergi ke Mekah, bersama suami dan bayinya yang masih mungil. Mereka turut dalam kafilah Bani Sa’ad. Ketika itu musim kemarau. Terik siang begitu menyengat. Perjalanan terasa sangat menyiksa. Halimah bercerita, “Semalaman aku dan suamiku tak bisa tidur. Si kecil terus menangis. Ia haus dan lapar. Tapi kami sudah tak punya apa-apa. Unta yang kami bawa sudah tidak mengeluarkan air susu.” Dengan tertatih, tibalah mereka ke Mekah. Wanita-wanita bersegera mencari anak susuan. Tak ketinggalan pula Halimah. Akan tetapi, ia sedikit tidak beruntung. Lewat dua hari ia belum juga mendapatkan bayi untuk ia susui. Hingga akhirnya terlintas seorang bayi yatim dari wanita tak berpunya. Namanya Muhammad bin Abdullah.
Sebelum itu, ihwal bocah itu sebetulnya sudah didengar, tepatnya tatkala rombongan baru memasuki kota. “Aku tahu bahwa setiap orang dari kami telah ditawari bocah itu,” aku Halimah. “namun, ketika tahu bahwa ia sudah tak punya bapak, mereka enggan. Mereka beranggapan, bayi yatim kurang memberikan keuntungan. Ibunya yang janda takkan mampu memberi imbalan. Sedang kami mencari anak susuan adalah demi bayaran.”
Dalam kebimbangan, Halimah mengadu kepada suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, “Abang, aku tak hendak pulang tanpa membawa anak susuan. Bagaimana bila kubawa anak yatim itu saja.” “Ambillah ia,” jawab sang suami.”Barangkali Tuhan memendam kebaikan dalam diri bayi itu.” Halimah pun mantap memungut si bocah dari ibunya. Ketika membuka kain yang membungkus bayi, ia sontak merasa takjub, “Demi Allah, tak pernah kulihat bayi seindah ini. Lihat, wajahnya penuh cahaya.”
Dibawalah bayi itu oleh mereka berdua dengan rasa suka cita. Halimah langsung menyusuinya. Ajaib. Air susunya mengalir lancar seketika. Bayi itu, juga putra Halimah, menjadi kekenyangan dibuatnya. Tak hanya itu. Unta tua yang mereka bawa juga mengeluarkan air susu dengan derasnya begitu suami Halimah memerahnya. Al-Harits keheranan. “Duhai adinda, demi Allah, aku merasa Engkau telah mengambil anak yang penuh keberkahan. Tidakkah Engkau menyaksikan pula keberuntungan demi keberuntungan menghampiri kita semenjak ia kita bawa serta.” Semenjak itu, keluarga kecil Halimah diguyur anugerah.
Sudah merupakan kebiasaan ibu-ibu Arab masa itu menitipkan bayi mereka supaya diasuh dan disusui wanita pedesaan. Upaya ini bertujuan agar si bayi bisa tumbuh dalam lingkungan yang lebih asri. Desa Halimah terletak di kawasan pegunungan dekat Thaif, 60 kilometer dari kota Mekah. Udaranya bersih dan segar.
Rasulullah berkembang dengan keistimewaan-keistimewaan. Usia lima bulan sudah pandai berjalan. Menginjak sembilan bulan, kemampuan verbalnya (bicara) sudah lancar. Dan ketika sudah berumur dua tahun, balita itu sudah dilepas bersama putra-putra Halimah yang lain untuk menggembala kambing.
Halimah memberikan pendidikan yang baik kepada Al-Amin kecil. Ia sangat mencintainya. Dan tatkala masa penyusuan—yakni dua tahun—telah lewat, Halimah mesti menyerahkan anak itu kepada ibundanya, Aminah. Ia merasa berat hati. Ia masih ingin menuai berkah darinya. “Aku mengharapkan Anda masih bersedia menitipkan anak ini kepada kami. Biarlah ia bersama kami sampai lebih besar dan kuat. Aku khawatir ia jadi sakit-sakitan bila tinggal di Mekah.” Begitulah Halimah memohon kepada bunda Aminah. Ia terus meminta hingga akhirnya ibu rasul itu luluh hati. Kembalilah Halimah ke kampung halamannya dengan hati berbunga-bunga lantaran “bocah pilihan” itu masih bersamanya.
Halimah memang bergelimang berkah kala itu. Setiap malam rumahnya terang benderang oleh pancaran wajah Nabi. Sampai tak perlu ia pasang lampu. Rejekinya kian melimpah ruah. Kambing-kambingnya beranak pinak dengan pesat serta memberikan susu yang melimpah. Padahal daerah bani Sa’ad kering kerontang dan tak menyediakan sabana yang cukup untuk gembala. Perlu dicatat, sebelum mengasuh Rasul, Halimah sekeluarga hidup dalam keserbaterbatasan.
DIBELAH
Suatu waktu, Rasulullah SAW bermain-main dengan saudara angkatnya, Damrah. Tiba-tiba beliau terlentang seperti pingsan. Damrah memanggil ibunya, “Ibu lihatlah adik, adik ini kenapa?” Halimah bergegas datang. Sampai kepada Rasulullah SAW dia langsung memeluk. Seusai puas memeluk, dia tanya, “Mengapa nak, Engkau sakit?” Rasulullah SAW berkata, “Tadi ada tiga orang menangkap aku. Dibelah dadaku tapi tak sakit, dibasuh-basuh kemudian dijahit oleh mereka, juga tak terasa apa-apa, itu saja”. Halimah kebingungan. Tapi ia tak merasa dibohongi, sebab ia mafhum anak itu tak pernah berkata dusta. Halimah kemudian berkata pada suaminya, “Beruntung kita bang, anak kita bukan orang sembarangan. Kelak ia menjadi orang besar.”
Kemudian setelah umur 4 tahun, Muhammad SAW dibawa oleh Halimah untuk diserahkan kembali kepada ibunya. Setelah itu dia tidak tahu apa yang terjadi pada bocah itu, sebab untuk dapat kabar di zaman itu sangat susah. Baru, ketika Rasulullah SAW berusia 40 tahun terdengarlah berita oleh Halimah, rupanya anak susuannya telah menjadi rasul. Maka dia berujar kepada suaminya, “Tidak sangka bang, anak susu kita, anak angkat kita jadi utusan Allah”. Halimah pun merasa sebagai wanita paling bahagia di dunia.
Halimah as-Sa’diyah, putri Abu Dzuaib Abdullah bin Al-Harits adalah teladan bagi muslimah setiap zaman. Dengan keikhlasannya, ia menjadi sosok yang pernah mewarnai kehidupan Rasulullah SAW. Jabatan apa yang lebih hebat dari “Ibunda Pemimpin Umat Manusia”? Ia wafat di kota Madinah dan dimakamkan di Baqi’. Sebelum meninggal, ia sempat bertemu anak susuan yang paling dicintanya itu. Dan, bisa dipastikan, itulah puncak kebahagiaannya di dunia ini.
Ref: http://cahayanabawiyonline.com/?p=31
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment